Pages

Rabu, 20 April 2011

Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari

Dahulu kala, di Desa Tarub, tinggal­lah seorang janda bernama Mbok Randha Tarub. Sejak suaminya meninggal dunia, ia mengangkat seorang bo­­­cah laki-laki sebagai anaknya. Setelah dewa­sa, anak itu dipanggilnya Jaka Tarub.

Jaka Tarub anak yang baik. Tangannya ringan melakukan pekerjaan. Setiap hari, ia membantu Mbok Randha mengerjakan sawah ladangnya. Dari hasil sawah ladang itulah mereka hidup. Mbok Randha amat mengasihi Jaka Tarub, seperti anaknya sendiri. 

Waktu terus berlalu. Jaka Tarub ber­anjak dewasa. Wajahnya tampan, tingkah lakunya pun sopan. Banyak gadis yang men­dambakan untuk menjadi istrinya. Na­mun Jaka Tarub belum ingin beristri. Ia ingin berbakti kepada Mbok Randha yang di­anggap­nya sebagai ibunya sendiri. Ia be­ker­ja se­makin tekun, sehingga hasil sawah ladang­nya melimpah. Mbok Randha yang pe­­murah akan membaginya dengan te­tang­ga­nya yang kekurangan.

“Jaka Tarub, Anakku. Mbok lihat kamu sudah de­wasa. Sudah pantas meminang gadis. Lekaslah me­nikah, Simbok ingin menimang cucu,” kata Mbok Randha suatu hari.

“Tarub belum ingin, Mbok,” jawab Jaka Tarub.

“Tapi jika Simbok tiada kelak, siapa yang akan mengurusmu?” tanya Mbok Randha lagi.

“Sudahlah, Mbok. Semoga saja Sim­bok berumur panjang,” jawab Jaka Tarub singkat.

Suatu pagi Jaka Tarub merasa heran, karena sampai menjelang siang, Simbok belum juga beranjak dari tempat tidurnya. “Hari sudah siang, tetapi Simbok be­lum juga bangun. Kadingaren ...,” gumam Jaka Tarub suatu pagi. 

“Simbok sakit ya?” tanya Jaka Tarub meraba kening simboknya.

“Iya, Le,” jawab Mbok Randha lemah. 

“Badan Simbok panas sekali,” kata Jaka Tarub cemas. Ia segera mencari daun dhadhap serep untuk mengompres simbok­nya. Namun rupanya umur Mbok Randha ha­nya sampai hari itu. Menjelang siang, Mbok Randha menghembuskan napas ter­akhirnya.

Sejak kematian Mbok Randha, Jaka Tarub sering melamun. Kini sawah ladang­nya terbengkalai. “Sia-sia aku bekerja. Un­­tuk siapa hasilnya?” demikian gumam Jaka Tarub.

Suatu malam, Jaka Tarub bermimpi me­makan daging rusa. Saat terbangun dari mimpinya, Jaka Tarub menjadi ber­se­­lera ingin makan daging rusa. Maka pagi itu, Jaka Tarub pergi ke hutan sambil mem­bawa sumpitnya. Ia ingin menyumpit rusa. Hingga siang ia berjalan, namun tak seekor rusa pun dijumpainya. Jangankan rusa, kancil pun tak ada. Padahal Jaka Tarub sudah masuk ke hutan yang jarang diambah manusia. Ia kemudian duduk di bawah pohon dekat telaga melepas lelah. Angin sepoi-sepoi membuatnya tertidur. 

Tiba-tiba, sayup-sayup terdengar de­rai tawa perempuan yang bersuka ria. Jaka Tarub tergagap. “Suara orangkah itu?” gu­mamnya. Pandangannya ditujukan ke te­la­­­ga. Di telaga tampak tujuh perempuan can­­tik tengah bermain-main air, bercanda, ber­­suka ria.  

Dengan mengendap- ngendap, Jaka Tarub berjalan mendekat. Jaka Tarub menganga melihat ke­­cantikan mereka. Tak jauh dari telaga, ia menemukan pakaian dan selendang wanita-wanita tersebut, yang tergeletak berserakan.
Tergoda ingin punya istri cantik menawan, Tanpa pikir panjang, Jaka tarub nekad mencuri dan diambilnya satu selendang terbang, salah satu dari 7 bidadari yang kebetulan ia pergoki sedang mandi sambil bercanda ria disebuah telaga, ke­mu­di­­an disembunyikannya

 Nimas, ayo cepat naik ke darat. Hari su­dah sore. Kita harus segera kembali ke kah­yangan,” kata Bidadari tertua. 

Bidadari yang lain pun naik ke darat. Mereka kem­bali mengenakan selendang masing-masing. Na­­­mun salah satu bidadari itu tak mene­­mu­kan selendangnya.

Kakangmbok, selendangku tidak ada,” katanya.

Keenam kakaknya turut membantu men­­cari, namun hingga senja tak ditemu­kan juga. “Nimas Nawang Wulan, kami tak bi­sa menunggumu lama-lama. Mungkin su­­dah nasibmu tinggal di mayapada,” kata Bidadari tertua. “Kami harus segera kembali ke kah­ya­ngan,” tambahnya.

Barulah Jaka Tarub mengerti kalau wanita-wanita itu adalah para bidadari dari khayangan. Namun ada seorang bidadari, Nawang Wulan, nama bidadari itu, yang tertinggal di danau, , karena kehilangan pakaiannya dan ia tidak bisa kembali ke kahyangan. Ia ditinggal pergi oleh saudara-saudaranya yang tak mampu berbuat apa-apa, 

Nawang Wulan yang selendangnya dicuri hanya bisa menangis sendirian meratapi nasibnya. Nawang Wulan kemudian bersumpah dalam hati bahwa “Bila ada yang menemukan pakaian dan kainku, bila laki-laki akan kujadikan suami dan bila perempuan akan kujadikan saudara,” kata sang bidadari.

Beberapa saat kemudian, Jaka Tarub menampakkan dirinya dan menghibur sang bidadari. Ia memberikan selembar kain untuk dipakai bidadari itu, namun tetap menyembunyikan pakaiannya, supaya ia tak bisa terbang ke khayangan, meninggalkannya. Diajaknya Nawang Wulan pulang ke rumah. Kini hidup Jaka Tarub kembali cerah.

Setelah beberapa lama Nawang Wulan tinggal di rumahnya, Jaka tarub yang sejak semula sudah tertarik akan kecantikkan Nawang Wulang, memberanikan diri mengutarakan maksudnya untuk menikahi Nawang Wulan. Karena yang datang menolong dirinya adalah seorang laki-laki, sesuai dengan sumpahnya, Nawang Wulan pun bersedia menikah dengan Jaka Tarub.

Tidak lama berselang, Nawang Wulan telah resmi diperistri oleh Jaka tarub. Dengan ketentuan Jaka Tarub tidak boleh melanggar pantangan-pantangan tertentu yang disyaratkan oleh Nawang Wulan. Keduanya hidup berbahagia.

Sejak menikahi Nawang Wulan, Jaka Tarub hidup berkecukupan. Panennya melimpah dan lumbungnya selalu dipenuhi oleh padi tanpa pernah berkekurangan. Di situlah pakaian Nawang Wulan disembunyikan Jaka Tarub, di dalam lumbung yang selalu penuh padi tersebut. Tak lama kemudian Nawang Wulan melahirkan Nawang Asih, anak mereka, seorang putri yang tak kalah cantik dengan ibunya.

Namun setelah beberapa lama hidup berumah tangga, timbullah kecurigaan-kecurigaan di dalam hati Jaka Tarub, yang tak habis pikir dengan keanehan-keanehan yang sering ia rasakan dalam hidup keseharian mereka. Terusiklah rasa ingin tahu Jaka Tarub. Setiap hari ia dan keluarganya selalu makan nasi, namun lumbung padi miliknya, selalu saja penuh, tidak pernah berkurang, seolah tak ada padi yang dipakai untuk mereka makan.

Suatu hari Nawang Wulan hendak pergi ke sungai. Ia minta suaminya supaya menjaga api tungku di dapur, dan berpesan, Kakang, aku sedang memasak nasi. Tolong jagakan apinya, aku hendak ke sungai. Tapi jangan dibuka tutup tutup periuk itu,” pinta Nawang Wu­lan.

Jaka Tarub melakukan pesan istrinya, namun rasa penasaran yang sudah dipendamnya sejak lama akhirnya membuatnya melanggar larangan yang sudah dipesankan. Dibukanya tutup periuk itu dan betapa terperanjatnya Jaka Tarub, karena di dalam periuk nasi itu ternyata hanya ada satu butir beras.

Rupanya selama ini Nawang Wulan hanya membutuhkan sebutir beras untuk memenuhi kebutuhan nasi mereka sekeluarga dalam sehari. Ketika Nawang Wulan pulang dan membuka tutup periuk, hanya ada sebutir beras di dalamnya. “Pan­tas padi di lumbung tak pernah habis. Rupa­nya istriku dapat memasak sebutir beras menjadi nasi satu periuk penuh,” gumam­nya.

Saat Nawang Wulan pulang, ia mem­buka tutup kukusan. Setangkai padi ma­sih tergolek di dalamnya. Tahulah ia bahwa suaminya telah membuka kukusan hingga hilanglah kesaktiannya. Marahlah Nawang Wulan karena suaminya telah melanggar larangannya, dan ia pun menjadi sedih karena sejak saat itu ia harus memasak nasi seperti manusia biasa. Ia harus bersusah payah menumbuk padi banyak- banyak menjadi beras, sebelum kemudian menanaknya menjadi nasi.

Akibatnya, karena dipakai terus menerus, lama kelamaan persediaan padi di lumbung Jaka Tarub semakin menyusut. Pelan tapi pasti, padi mereka semakin habis, sementara musim panen masih belum tiba. Ketika suatu hari Nawang Wulan kembali mengambil padi untuk ditumbuk, dilihatnya seonggok kain yang tersembul di balik tumpukan padi. 

Ketika ditarik dan diperhatikan, teringatlah Nawang Wulan kalau itu adalah pakaian bidadarinya. Tahulah ia bahwa suaminyalah yang me­­nyem­bu­nyi­kan selendang itu. “Rupanya selama ini Jaka Tarub yang menyembunyikan pakaianku. Dan karena isi lumbung terus berkurang pada akhirnya aku bisa menemukannya kembali. Ini pasti sudah menjadi kehendak Sang Dewata, mungkin inilah saatnya harus kembali ke khayangan,” pikirnya. Dengan se­ge­ra dipakainya selendang itu dan pergi menemui suaminya.
 
Ia menemui Jaka Tarub untuk berpamitan dan memintanya merawat anak mereka baik-baik. Jaka Tarub memohon dengan sangat agar istrinya tidak meninggalkannya, namun sudah suratan takdir bahwa Nawang Wulan harus kembali ke khayangan dan berpisah dengannya.

“Kakang, aku harus kembali ke kah­yangan. Jagalah Nawang Asih. Buatkan da­ngau di sekitar rumah. Setiap malam letak­­kan Nawang Asih di sana. Aku akan datang me­nyusuinya. Namun Kakang ja­nganlah mendekat,” kata Nawang Wulan,

“Kenanglah aku ketika melihat bulan. Aku akan menghiburmu dari atas sana,” kata Nawang Wulan. Ia pun kemudian terbang ke langit menuju khayangan, meninggalkan Jaka Tarub yang hanya bisa menangis menyesali kebodohannya.
 
Jaka Tarub menuruti pesan istrinya. Ia buat dangau di dekat rumahnya. Setiap malam ia memandangi anaknya ber­­­­main-main dengan ibunya. Setelah Na­wang A­sih tertidur, Nawang Wulan kem­bali ke kah­ya­ngan. Demikian hal itu ter­jadi berulang-ulang hingga Nawang Asih besar. Walaupun de­mikian, Jaka Tarub dan Nawang Asih me­­­­­­rasa, Na­wang Wulan selalu menjaga me­reka. Di saat ke­duanya mengalami ke­sulit­­an, ban­­tu­­an akan datang tiba-tiba. Ko­non itu ada­lah bantuan dari Nawang Wulan.  



Modifikasi : Sri Mulyanti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar